Fenomena kekerasan sudah bukan hal baru lagi bagi masyarakat kita, baik kekerasan itu ditujukan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Beberapa waktu lalu di Jawa Timur, kita pernah dikejutkan kasus bunuh diri seorang ibu dengan ’mengajak’ keempat anaknya. Ada lagi seorang suami membunuh istri dan beberapa orang lainnya hingga kemudian membunuh dirinya sendiri. Di tempat lain lagi, hanya karena tidak suka dipindah tugas, atasan menjadi sasaran pembunuhan, lagi-lagi diakhiri dengan drama bunuh diri. Belum lama berselang, seorang ibu membunuh anaknya karena tidak tega melihat masa depan sang anak suram.
Pemerkosaan juga makin mudah ditemui, pun terhadap keluarga sendiri. Kakak terhadap adik, paman terhadap keponakan, bahkan bapak terhadap anak. Fenomena kekerasan ini ternyata juga dilakukan secara kolektif. Peristiwa pencurian, pencopetan, perampokan atau aksi pencoleng yang tertangkap massa, terus digebuki dan dibantai kemudian dibakar hingga mati bukan sekali dua kali saja terjadi. Terkadang, amuk massa itupun salah sasaran. Hanya karena seseorang diteriaki sebagai copet, diapun harus menjadi korban. Anarkhisme massal juga menjangkiti daerah-daerah pemukiman. Tawuran antar desa atau antar warga kampung marak terjadi di mana-mana, seolah melengkapi tawuran yang sudah kerap terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Demonstrasi atau unjuk rasa yang kerap terjadi di mana-mana, akhir-akhir ini juga banyak diwarnai atau diakhiri dengan tindak kekerasan. Massa yang melakukan demo tidak cukup puas sekadar berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan poster saja, tapi juga melakukan perusakan bahkan pembakaran.
Ada apa ini? Kok orang-orang makin beringas saja. Emosi mudah terpancing hanya karena persoalan sepele hingga berujung pada pembunuhan. Rasa kemanusiaan bahkan kasih sayang dengan mudah dikalahkan oleh nafsu manusia.
Apa yang terjadi? Tak perlu menjadi orang pintar untuk menyimpulkan bahwa masyarakat kita sedang sakit. Fenomena bunuh diri, maraknya kriminalitas dan anarkhisme atau kekerasan massal merupakan salah satu ciri dari sebuah masyarakat yang sedang sakit. Dalam masyarakat yang sehat tindakan-tindakan tersebut tidak akan muncul, karena masyarakat paham bagaimana cara menyelesaikan setiap persoalan secara baik dan rasional.
Penulis memandang fenomena ini sebagai akibat banyaknya tekanan hidup yang dihadapi masyarakat kita hingga menimbulkan stress dan depresi. Secara umum, depresi sosial disebabkan oleh dua faktor utama, yakni: adanya tekanan yang demikian kuat dan tidak adanya daya untuk menangkis tekanan tersebut. Tekanan yang sifatnya individual hanya akan menimbulkan depresi perorangan. Tekanan yang bersifat kolektif menyebabkan munculnya depresi secara kolektif pula.
Penyebab stress dan depresi kadangkala memang mudah untuk dideteksi, tetapi sering sulit untuk diketahui. Ada yang mudah untuk dihilangkan, ada yang sulit atau bahkan tidak bisa dihindari. Secara umum, dua sumber utama penyebab depresi yang mengakibatkan sakitnya masyarakat adalah faktor individu dan lingkungan (keluarga dan masyarakat serta negara sebagai sumber tekanan).
Individu yang memiliki pandangan hidup keliru, cenderung materialis dan sekular, jauh dari tuntunan agama, serta menjadikan harta dan hal-hal yang sifatnya duniawi sebagai tujuan hidupnya akan cenderung mudah mengalami depresi. Depresi terjadi biasanya ketika ia gagal mencapai apa yang diinginkannya, sementara pada saat yang sama, dia tidak memiliki daya tangkal individu yang kuat, seperti ketabahan dan kesabaran.
Pandangan hidup seseorang memang sangat berpengaruh pada bagaimana orang tersebut menjalani kehidupannya. Pandangan hidup yang materialistis tentu akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku seseorang, sehingga tolok ukur kebahagiaan pun akhirnya disandarkan pada materi. Tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan hidup jadinya bersifat material. Akibatnya, jika kebutuhan akan materi itu tidak terpenuhi, akan timbul kegelisahan yang luar biasa. Ketika orang kehilangan status sosial, uang, kekuatan fisik, intelektual, cinta, perhatian, dan lain-lain yang bersifat lahiriah, maka ia bisa merasa tak berguna lagi, akhirnya mengalami stres dan depresi.
Di sinilah pentingnya memahami apa sesungguhnya hakikat manusia diciptakan. Pemahaman ini akan mengubah cara pandang terhadap peristiwa apapun yang dihadapi dalam hidup sehingga memunculkan keberanian dan optimisme.
Lingkungan juga menjadi faktor penyebab depresi. Lingkungan selalu membuat kita harus memenuhi tuntutan dan tantangan, yang karenanya merupakan sumber stress yang potensial; misalnya ketika orang mengalami musibah akibat terjadinya bencana alam (banjir, gempa bumi dan sebagainya) atau cuaca buruk, kemacetan lalu-lintas, beban pekerjaan, kelaparan, kemiskinan, problema rumah tangga, dan hubungan antarmanusia; atau ketika orang dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi keuangan, pindah kerja, atau kehilangan orang yang dicintai.
Lingkungan paling dekat yang sangat mudah mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang adalah keluarga. Fenomena masyarakat sakit tentunya tidak muncul dengan tiba-tiba. Prosesnya bisa jadi teramat panjang, dan ada kemungkinan berawal dari lingkungan keluarga. Dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan, peran orangtua dalam mendidik anak akan terganggu. Akibatnya, besar kemungkinan selama pertumbuhannya, anak akan mengalami deprivasi. Anak mungkin tidak kehilangan ibunya secara fisik. Namun, jika peran ibu yang amat penting dalam proses imitasi dan identifikasi dirinya tidak ada, maka perkembangannya akan terganggu. Hal yang sama bakal terjadi pada anak jika figur dan peran ayahnya tidak ada.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan dan mengalami deprivasi maternal (juga paternal dan atau parental), mempunyai risiko tinggi menderita gangguan kepribadiannya; yaitu gangguan dalam perkembangan mental-intelektual, perkembangan mental-emosional, bahkan perkembangan psikososial dan spiritualnya. Tidak jarang dari mereka, jika kelak dewasa, akan memperlihatkan berbagai perilaku yang menyimpang, anti sosial, bahkan sampai melakukan tindak kriminal. Apalagi ditambah tontonan TV yang akhirnya menjadi tuntunan, karena ketiadaan tuntunan dari orang tuanya.
Anak-anak sebagaimana digambarkan di atas pada umumnya dibesarkan dalam keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia. Hal ini disebabkan karena ketidakberadaan orangtua atau karena tidak berfungsinya orangtua sebagaimana mestinya. Dalam 20 tahun terakhir ini, para ahli telah melakukan berbagai penyelidikan perihal pola perkawinan/keluarga yang ternyata tidak sehat dan tidak membawa kebahagian rumahtangga, yang dampaknya amat tidak baik bagi perkembangan mental emosional anak. Inilah yang pada akhirnya ikut memberikan sumbangan bagi terjadinya masyarakat sakit.
Lingkungan kedua yang memasok faktor munculnya stress tentu saja adalah masyarakat. Masyarakat yang berpaham materialis cenderung individualis. Masyarakat yang cenderung cuek, individualis, dan apatis terhadap lingkungan sosial adalah konsekuensi logis dari paham individualisme. Bahkan, dari internal masyarakat muncul berbagai kelompok atau media massa yang justru menanamkan bibit-bibit depresi. Rangsangan-rangsangan untuk menjadi kaya, kehidupan yang serba enak tanpa kerja keras, kebahagiaan yang seakan hanya di dunia ini, dan kehidupan serba instan yang terus dihidupkan di masyarakat merupakan bibit lain munculnya depresi sosial. Kepekaan terhadap lingkungan sosialnya menjadi rendah. Orang akan bersaing untuk dirinya sendiri dengan berbagai cara tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Hubungan interpersonal cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seperti keramahan, perhatian, toleransi, dan tenggang rasa. Akibatnya, tekanan isolasi dan keterasingan kian kuat; orang makin mudah kesepian di tengah keramaian. Inilah yang disebut lonely crowded, gejala mencolok dari masyarakat kapitalis di mana-mana. Dalam suasana seperti ini, sangat mudah orang kehilangan daya kontrol terhadap emosinya.
Lingkungan ketiga yang ikut mempengaruhi masyarakat sehingga mudah terkena depresi adalah negara. Banyak sebab terjadinya kasus bunuh diri dan depressi di tengah masyarakat tidak lepas dari faktor kesulitan ekonomi, rendahnya pendidikan, buruknya tingkat kesehatan, dan beban hidup yang semakin tinggi. Kasus bunuh diri terbanyak di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta, terutama diakibatkan oleh tekanan ekonomi di tengah situasi sosial politik yang carut-marut. Relasi sosial yang sehat hanya dapat terbentuk jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi—pangan, sandang, dan papan, kesehatan, pendidikan dasar, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan orang berinteraksi secara normal.
Keadaan seperti ini menyebabkan orang frustasi dan putus harapan karena merasa tidak memiliki masa depan. Seseorang cenderung kecil hati dan cepat menyerah menghadapi realitas hidup. Ditambah lagi dengan berkembangnya perasaan masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil yang terjadi di berbagai bidang (ekonomi, hukum, politik, dan sebagainya). Kebijakan negara yang terkadang membebani rakyat seperti biaya sekolah makin mahal, kenaikan harga BBM dan listrik, dan penggusuran merupakan faktor pemicu lain depresi sosial. Tidak aneh jika stress dan depresi meningkat. Masyarakat menjadi sakit.
Televisi sebagai media yang banyak menayangkan adegan kekerasan disinyalir juga memiliki andil dalam mengajari bagaimana orang menyelesaikan masalah, terutama pada anak-anak. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak sedikit banyak dipengaruhi oleh tayangan itu. Dalam hal ini, negara (pemerintah) memang harus mengatur tayangan tivi agar tidak berdampak buruk pada perilaku anak-anak.
Itulah empat pemicu depresi sosial di tengah-tengah masyarakat secara kolektif, baik satu saja maupun kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Semua faktor penyebab lahirnya depresi tersebut haruslah diminimalkan, bahkan diusahakan agar lenyap. Individu dan lingkungan yang terdiri dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara yang berkarakteristik seperti itu membutuhkan perubahan segera.
Semua komponen masyarakat saat ini perlu sadar bahwa masyarakat tengah sakit. Masyarakat yang sedang sakit tentu butuh obat, sebagai solusi. Ada kecenderungan, orang yang mengalami stress mencari solusi yang bersifat sesaat dan justru menimbulkan kerusakan. Ini ditunjukkan oleh semakin maraknya dunia hiburan, penyaluran hobi, seks bebas, dan sebagainya. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan makan berlebihan juga sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres. Padahal, efeknya hanya berlangsung sementara, dan dalam jangka panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Perilaku lainnya yang terlihat adalah sikap menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu tersebut.
Solusi untuk menghilangkan depresi sosial haruslah berpijak pada dua pilar penyebab utamanya tersebut, individu dan lingkungan (keluarga, masyarakat dan negara). Untuk itu, strateginya ada dua. Pertama, mengurangi bahkan menghilangkan tekanan. Kedua, memperkuat daya tahan.
Solusi untuk mengatasi depresi sosial harus ditempuh dengan mengubah penyebab-penyebab tersebut. Jalurnya dapat dilakukan melalui empat pendekatan secara menyeluruh dan terpadu, yaitu individu, lingkungan keluarga, masyarakat dan negara.
Pertama, solusi individu. Setiap individu harus memiliki pandangan hidup yang benar. Terkadang pandangan hidup yang salah dapat menyebabkan orang menjadi depresi sehingga mudah lepas kendali.
Kedua, solusi keluarga. Betul, depresi tidak selalu terjadi pada keluarga yang berantakan. Ada juga orang yang berasal dari keluarga baik mengalami depresi. Namun, secara umum keluarga yang tak tertata berpeluang lebih besar melahirkan masyarakat yang depresi. Dalam konteks keluarga ini, hubungan suami-istri dalam rumahtangga bukanlah hubungan antara tuan dan pekerjanya, tetapi hubungan yang saling bersahabat dan saling menolong satu sama lain. Kemunculan depresi di tengah keluarga merupakan isyarat adanya kekurangberesan dalam keluarga tersebut, khususnya suami dan istri, di samping anggota keluarga lainnya.
Jelaslah, keluarga harus dijadikan sebagai wadah untuk menjaga diri bahkan sebagai sarana mengurangi depresi. Rumah dan keluarga haruslah dijadikan sebagai ‘sekolah’ yang memberikan pelajaran bagi penghuninya mengenai sikap mental yang baik.
Ketiga, solusi masyarakat. Kehidupan masyarakat seperti sekelompok orang yang mengarungi lautan dengan kapal. Jika ada seseorang yang hendak mengambil air dengan melobangi kapal dan tidak ada orang lain yang mencegahnya, niscaya yang tenggelam adalah seluruh penumpang kapal. Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh anggota masyarakat terhadap kehidupan masyarakat secara umum. Masyarakat yang para anggotanya mengembangkan bibit-bibit depresi, jika dibiarkan, akan melahirkan masyarakat yang depresi. Sebaliknya, warga masyarakat yang menumbuhsuburkan kebaikan akan mewujudkan masyarakat yang juga baik. Oleh sebab itu, agar masyarakat memiliki daya tahan dalam menghadapi depresi/stress sosial harus ada upaya untuk menumbuhkan solidaritas dan kepedulian sosial; menciptakan atmosfir persahabatan; serta mengembangkan kontrol sosial antar anggotanya.
Keempat, solusi negara/pemerintah. Negara wajib membina masyarakat dengan pendidikan yang baik sehingga menghasilkan seseorang yang berkepribadian baik; mengatur media massa hingga tidak menyebarkan budaya hedonistic dan materialistik yang bersumber dari ideologi kapitalisme atau sosialisme. Hanya dengan sikap tegas dari negara untuk melakukan hal tersebut depresi sosial dapat dicegah.
Saat ini secara praktis, negara perlu menginventarisir masalah-masalah kerawanan sosial, membangun sentra-sentra penanganan sosial, pemberian sanksi berat kepada pelaku kriminal, menambah jam kurikulum agama di semua jenjang pendidikan untuk memberikan bekal bagi ketahanan diri anggota masyarakat, menumbuhkan rasa cinta dan memiliki pada bangsa ini, serta yang tak kalah penting adalah menghilangkan faktor penyebabnya. Semoga masyarakat yang sedang sakit dapat segera ditemukan obat mujarabnya.
Indralaya, 3 April 2008
Hadi Tanuji
Founder Prisma Cendekia Bina Prestasi
2 Comments
Semangat
Bismillah,ikut lomba untuk melatih otak dan kepercayaan diri,semoga beruntung amiinn