IBU, ENGKAULAH PENDIDIK UTAMA ITU
Oleh: Hadi Tanuji
Siapa selain ibu yang dapat memberikan rasa aman dan tentram kepada jiwa anak, suasana keluarga dan masyarakat? Siapa selain ibu yang rela berjaga pada malam hari menyertai kerdipan jutaan bintang di langit? Siapa selain dia yang rela berkorban tanpa batas?
Siapa selain dia yang rela bersabar hingga sampai ke puncak kesabarannya?
Bukankah ia sebagai buaian kesejahteraan, sumber kasih sayang serta pemancar kecintaan dan kesucian? Bukankah ia yang mendidik calon pemimpin dan pemelihara calon ibu di masa datang? (Dr. Abdillah Taufik Ash Shabghah)
Ungkapan di atas menggambarkan ibu sebagai sosok perempuan luar biasa yang ada di dunia. Sosok yang rela mengorbankan tenaga, waktu dan perhatian untuk anak dan keluarganya. Pujian yang tidak berlebihan karena memang demikian kenyataannya. Dia menjadi sosok tak tergantikan utamanya dalam mempersiapkan generasi masa depan. Namun saat ini peran ibu seperti yang digambarkan pada bait ungkapan di atas nampak mulai mengalami pergeseran. Modernisasi telah membawa dampak dalam mempengaruhi pola pikir perempuan masa kini. Mereka mulai terpengaruh dengan pandangan barat tentang bagaimana sosok perempuan modern menampilkan dirinya.
Sosok perempuan modern saat ini identik dengan gambaran sosok yang tegas, mandiri, aktif bersosialisasi, mampu mencari nafkah sendiri, mengikuti mode, bebas dan berpenampilan menawan. Emansipasi lebih diartikan sebagai ’kesejajaran’ antara perempuan dan lelaki untuk bekerja di luar rumah, di semua aspek kehidupan. ’Kalau lelaki bisa maka perempuan juga bisa’ telah menjadi prinsip hidup yang kini banyak dianut oleh kaum perempuan. Kenyataan ini membuat banyak dari kaum perempuan yang berusaha dan berjuang untuk dapat bekerja di luar rumah, yang pada akhirnya melupakan tugas utamanya sebagai sosok seorang ibu yang harus mempersiapkan generasi penerus bangsa. Pengasuhan dan pembelajaran bagi anak-anaknya dipercayakan kepada pembantu rumah tangga, yang rata-rata hanya berbekal pendidikan pas-pasan. Atau anak-anak dibiarkan belajar dari lingkungannya, yang lebih banyak menimbulkan ekses negatif daripada positifnya.
Ironinya, ketika di Indonesia emansipasi modern ini kian digembar-gemborkan, ternyata di Barat, kondisi yang sebaliknyalah yang terjadi. Saat ini para perempuan Barat semakin giat mengkampanyekan kesadaran ’back to family’. Di Amerika Serikat-lah kesadaran itu dimulai. Diawali dengan berdirinya yayasan Mothers at Home. Yayasan ini didirikan oleh sekelompok wanita yang prihatin melihat kenyataan bahwa semakin banyak saja ibu yang bekerja di luar rumah. Selain itu didasarkan pada hasil penelitian (terhadap 2000 anak Amerika) yang memperlihatkan adanya kecenderungan bahwa telah terjadi kemerosotan ketrampilan emosional maupun sosial dasar. Mereka menjadi lebih resah, gampang marah, lebih murung, tidak bersemangat, lebih depresi dan kesepian, lebih mudah menurutkan kata hati dan tidak patuh, dan sebagainya. Yayasan –yang ketika baru berdirinya beranggotakan 700 orang namun sekarang telah mencapai puluhan ribu orang- ini mengajak para ibu untuk sebesar mungkin lebih perduli pada rumah, mendidik dan merawat keluarganya. Bahkan pendidikan anak sejak usia dini oleh ibu telah dijadikan agenda kerja utama Hillary Clinton ketika ia menjadi ibu negara. Usahanya untuk mengembalikan para ibu dari lapangan kerja publik tersebut juga didasari oleh tujuan untuk mendidik budi pekerti anak.
Mengapa mereka ’berani’ mengemukakan back to family sebagai solusi? Bukankah selama ini mereka mengagungkan emansipasi modern yang justru mengajak perempuan keluar rumah? Tak pelak karena mereka telah merasakan dampak negatif dari emansipasi modern. Mereka menyadari bahwa sesungguhnya dalam keluarga tersimpan potensi yang sangat luar biasa. Selain mempunyai fungsi biologik (tempat lahirnya anak), keluarga juga mempunyai fungsi afeksi (tempat curahan kasih sayang), dan fungsi sosialisasi (tempat pembentukan kepribadian anak). Selain itu mereka juga sadar bahwa tuntutan emansipasi telah mendorong aktivitas keluarga dalam hal perekonomian, perlindungan, rekreasi/hiburan, pendidikan dan agama beralih dengan pesat ke lembaga di luar keluarga. Keluarga makin berubah dari suatu unit produksi menjadi suatu unit konsumsi. Tugas mendidik anak misalnya, semakin diserahkan kepada sekolah dan masyarakat. Tugas melindungi anak semakin diserahkan kepada baby sitter, pembantu rumah tangga bahkan ke tempat penitipan anak. Sampai-sampai tugas menghibur anaknya juga diserahkan ke televisi, playstation, VCD, tablet, handphone dan sebagainya.
Mungkin ada yang mengkhawatirkan bahwa kembalinya para perempuan ini akan menyisakan masalah yang belum selesai. Ini adalah sebuah kekhawatiran yang sangat tidak beralasan. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya kunci letak masalah itu berada dalam rumah atau dalam keluarga, sehingga bila perempuan kembali ke rumah, ia tidak saja dapat mereduksi masalah, namun ia juga dapat mencegah timbulnya masalah tersebut. Selama ini yang selalu dilakukan adalah menyelesaikan masalah. Ini sebuah kesalahan fatal. Yang benar adalah mencegah supaya masalah tersebut tidak muncul. Di sinilah kaum perempuan, dalam kedudukannya sebagai ibu, menjadi kunci utamanya. Harus segera dikembalikan posisi ibu sebagai pendidik utama bagi anak.
Saat ini, kian berkembang berbagai cabang kecerdasan selain kecerdasan intelektual, mulai dari emotional intellegent, spiritual intelligernt, moral intelligent, body kinestetik intelligent, visual intelligent dan sebagainya. Dan disimpulkan bahwa bila dibandingkan kecerdasan intelektual, aneka cabang kecerdasan tersebutlah yang lebih berperan dalam keberhasilan hidup seseorang. Bila dicermati, ternyata aneka kecerdasan tersebut tidak dapat diajarkan secara teori saja. Perlu praktek dan teladan yang konsisten sejak dini. Disinilah keberadaan seorang ibu menjadi urgen. Banyak faktor yang mendukung hal ini.
Pertama, karena sesungguhnya perkembangan pesat dari intelektual serta masa peka belajar anak justru terjadi pada kurun usia balita. Di usia ini ia mengalami lompatan kemajuan yang luar biasa, baik dalam hal fisik, intelektual, emosional maupun sosial. Sehingga ia sangat berpotensi untuk belajar apapun. Maka sangat disayangkan bila seorang ibu mengabaikan proses pengasuhan dan pembelajaran anak balitanya. Sebab bila masa peka ini lewat, akan sulit bahkan kadang tidak mungkin lagi untuk melakukan jenis pembelajaran tersebut. Akibatnya, anak akan mengalami kerugian sepanjang hidupnya.
Kedua, karena sesungguhnya waktu terbesar anak adalah ketika ia berada di rumah maka logikanya di rumah pula seharusnya ia lebih banyak mendapat pembelajaran. Selain itu sesungguhnya suasana rumah berpeluang untuk menjadi tempat belajar yang terbaik. Di rumah anak bisa belajar sesuai dengan keinginannya. Ia tidak perlu menunggu bel, tidak perlu duduk tenang, tidak perlu ketakutan bila menjawab salah, dan bisa menerima penghargaan bila ia berlaku benar ataupun pembetulan bila ia membuat kesalahan. Bahkan Daniel Goleman, psikolog dan penulis Emotional intelligence berpendapat bahwa rumah merupakan sekolah yang pertama dan utama bagi pembelajaran intelektual, emosi, moral , spiritual serta sosial.
Sambil mengurus rumah tangga, seorang ibu dapat memberi aneka stimulan pada anak. Saat memasak misalnya, dapat memberinya stimulan yang berhubungan dengan kecerdasan intelegensia seperti berhitung, mengenal warna, bentuk menambah kosa kata baik bahasa Indonesia, bahasa Inggris maupun bahasa daerah. Kegiatan bersama itu juga dapat melatih motorik halusnya melalui kegiatan memotong dan mengupas. Kegiatan ini juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan pembelajaran moral bahkan spiritual.
Ketiga, karena ibulah yang paling berpeluang dalam membuat suasana rumah menjadi kondusif bagi proses pembelajaran. Bila mau, ia mampu membuat suasana rumah yang hangat, penuh kasih sayang, perlindungan, rasa aman, memberikan cinta kasih, kontak jasmani penuh kelembutan, asuhan yang tulus dan pemeliharaan yang penuh perhatian dan sebagainya. Suasana emosional rumah yang kondusif juga akan merangsang anak untuk belajar dan mengembangkan kemampuan kecerdasannya, dan sebaliknya.
Jelaslah bahwa sesungguhnya setiap ibu adalah sebuah sekolah. Masalahnya, mau dan mampukah ia membuat dirinya menjadi sekolah unggulan sekaligus sekolah favorit bagi anak-anaknya?
Ini memang bukan hal yang mudah. Apalagi peran seorang ibu sangat jauh dari sanjungan, meski tak bisa dipungkiri bahwa di balik orang-orang besar selalu ada seorang ibu yang mengarahkan mereka. Apalagi tugas keibuan terlihat remeh, mudah, sepele bahkan terasa membosankan. Apalagi mendidik anak bukanlah pekerjaan instan, yang bisa tampak dalam sekejap. Bahkan tidak tertutup kemungkinan hasilnya baru akan dirasakan justru ketika sang Ibu telah tiada. Itulah sebabnya selain harus membekali dirinya dengan kemampuan intelektual, seorang ibu juga harus membekali dirinya dengan kemampuan moral, emosional dan spiritual yang prima. Dan untuk mencapai kondisi seperti ini, perlu dukungan bagi semua pihak dalam ’memintarkan’ kaum perempuan, yang merupakan calon-calon Ibu bagi generasi penerus.
Kiranya inilah saat yang tepat untuk kembali menggugah keinginan para Ibu, terutama para Ibu yang telah berhasil menempuh pendidikan tinggi, untuk bersedia secara langsung memberikan pembelajaran bagi anak-anaknya. Karena perlu diingat bahwa menjadi ibu, tidak sebatas melahirkan saja, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana ’melahirkan’ generasi penerus yang berguna bagi sekitarnya. Ibu bukan sekedar status, lebih dari itu menuntut adanya tanggung jawab. Tanggung jawab untuk mendidik anak secara langsung dengan kasih sayang dan perhatian. Hal ini perlu menjadi perhatian, di tengah realitas sekarang yang cenderung mempercayakan pendidikan, pembelajaran dan pengasuhan anak kepada para pembantu. Perlu dicermati bahwa tingkat pendidikan para pengganti keberadaan ibu di rumah (pembantu ataupun pengasuh bayi) umumnya lebih rendah dari si Ibu. Hal ini tentu berpengaruh pada kualitas anak-anaknya, yang pada gilirannya akan sangat berdampak buruk bagi peningkatan kualitas bangsa ini. Padahal dalam kondisi masyarakat yang makin mengglobal ini, faktor kualitas sangatlah dominan, yang berarti peranan ibu sebagai pengasuh anak-anaknya semakin dibutuhkan.
Siapapun tidak dapat mengingkari bahwa anak adalah aset generasi mendatang yang sangat berharga, karena di tangan merekalah tergenggam masa depan bangsa. Siapa yang akan menggantikan generasi kita sekarang, kalau bukan anak-anak kita kelak? Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi kita memperhatikan dan mempersiapkan strategi pendidikan yang baik untuk anak-anak, termasuk proses tumbuh kembang anak dalam rangka mengarahkan dan membimbing mereka menuju tujuan yang diharapkan, yaitu mewujudkan generasi masa depan yang berkualitas.